Merasa Paling

24
May

Merasa Paling
Ayub 11-15; Ayub 12:12-23

Ev. Ronny Budiman

“Anak kecil ngerti apa!?”, demikianlah salah satu ucapan yang sering terlontar dari kita para orangtua, atau kita yang merasa diri secara usia lebih tua. Memang seolah ada satu pandangan umum, bahwa manusia ketika bertambah umur, maka hikmat dan pengetahuannya pun otomatis akan bertambah. Makin banyak rambutnya itu putih, maka makin bijaksanalah dia (lah, gimana kalo botak?). Jadi, lumrah donk, kalau sedang berkumpul di sebuah ruangan misalnya, siapa di situ yang paling tua, maka dia jadi merasa paling berhikmat?

Kalau kita baca Ayub 12:12, kita juga nampaknya menemukan pemahaman yang sama:
“Konon hikmat ada pada orang yang tua,
dan pengertian pada orang yang lanjut umurnya.”
Tapi jangan berhenti dulu, kalau kita teruskan pembacaan kita di ayatnya yang ke-13, di sana tertulis:
“Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan,
Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian.”

Ayat 13 dimulai dengan kata ‘tetapi’, yang artinya ada satu kontras terhadap ayat sebelumnya.
OK, di satu sisi, mungkin pandangan dunia ini benar, bahwa orang yang tua itu biasanya lebih berhikmat. Tetapi di satu sisi yang lain, hikmat yang sejati, hanya TUHAN yang punya. Kita kembali diingatkan bahwa hikmat manusia itu terbatas; bahkan Mr. Google pun tidak bisa mengetahui jawaban atas semua pertanyaan kehidupan, bukan?

Kita kembali diingatkan untuk tidak mengandalkan diri sendiri, untuk terus mencari dan mendekatkan diri kepada TUHAN, Sang sumber hikmat yang sejati.
Amsal 9:10 (TB) juga menegaskan hal ini,
“Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN,
dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.”
Terjemahan Indonesia Sehari-hari (BIS) menuliskannya,
“Untuk menjadi bijaksana, pertama-tama orang harus mempunyai
rasa hormat dan takut kepada TUHAN.
Jika engkau mengenal Yang Mahasuci, engkau akan mendapat pengertian”

Kembali pada kisah perjalanan iman Ayub. Kalau Ayub menjadikan hikmat manusia (argumen sahabat-sahabatnya) sebagai suatu standar hidup, maka Ayub akan jatuh ke dalam kekecewaan demi kekecewaan. Kalau Ayub memilih untuk menjadikan hikmat manusia sebagai cara menilai hidup, maka Ayub akan salah paham kepada TUHAN.

Sungguh kita bisa melihat bahwa Ayub memiliki pengakuan yang mendalam tentang siapa TUHAN. Bahwa kedaulatan itu tak tertandingi. Bahwa hikmat TUHAN itu tak terselami.
TUHAN mengenal hidup manusia,
jauh lebih baik daripada manusia memahami kehidupannya sendiri.
Dan Ayub menegaskan ulang pengakuan ini di pasal 23 ayat 10, “Karena Ia tahu jalan hidupku.”

Sekarang, mari kita tengok hidup kita. Di dalam setiap aktivitas keseharian, di tengah segala pergumulan; pertimbangan siapakah yang kita pegang sebagai panduan? Apakah hikmat manusia, ataukah hikmat TUHAN?
Hikmat manusia didapat dengan kita mencarinya;
Hikmat TUHAN didapat dengan kita menerima-NYA.
Kiranya TUHAN Sang sumber hikmat senantiasa menuntun jalan-jalan hidup kita. Amen!